Refleksi ketiga kuliah filsafat ilmu bersama Prof. Marsigit
Postingan kali ini
merupakan refleksi ketiga dari perkuliahan filsafat ilmu oleh Prof. Marsigit pada
hari selasa 3 Oktober 2017 jam 15.30 sampai dengan 17.10 di gedung baru lantai
1 Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Seperti pertemuan kemarin, Pak
Marsigit mengawali perkuliahan dengan tes jawab singkat lagi. Kemudian
dilanjutkan tentang beberapa pertanyaan dari mahasiswa. Tes jawab singkat kali
ini tentang gejala-gejala dalam filsafat dan terdiri dari 25 soal. Seperti tes
yang sebelumnya, tidak sedikit dari mahasiswa yang mengikuti tes tersebut
mendapatkan nilai nol dari skala 100. Setelah tes jawab singkat selesai, Prof.
Marsigit memberikan kesempatan kepada para mahasiswa untuk mengajukan
pertanyaan. Pertanyaan bersifat bebas. Berikut adalah beberapa pertanyaan dari
mahasiswa
“Mengapa orang hidup ada
yang rajin ada yang malas ?” Malas dan rajin itu pada dasarnya tergantung ruang
dan waktu. Karena malas dan rajin itu bersifat sangat relatif. Contohnya saja
rajin, ada yang rajin mengambil milik orang. Ada juga yang rajin mencela orang,
rajin menggunjing orang. Oleh karena itu malas dan rajin itu sangat relatif tergantung
ruang dan waktunya. Jadi sebaikyna kita itu harus malas terhadap hal buruk,
malas terhadap kejahatan. Karena sebenarnya ada kemalasan yang berguna,
contohnya malas untuk korupsi. Itulah pentingnya berfilsafat yaitu supaya
komprehensif, tidak hanya memandang dari satu sisi saja.
“Bagaima cara orang untuk
mengikuti pikiran kita?” Tidak harus semua orang itu mengikuti pikiran kita. Karena
setiap orang itu berbeda. Setiap orang haarus jadi dirinya sendiri. Apabila
kita tidak menjadi diri kita sendiri berati kita menjadi bayang-bayang orang
lain. Orang menjadi bayang-bayang orang lain berati orang itu tidak mampu
bergerak atau tidak mempunyai jati diri karena hanya mengikuti orang lain saja.
“Apa satu hal yang ingin
Bapak ubah di dunia?” Pada dasarnya Pak Marsigit tidak mempunyai kuasa untuk
mengubah suatu dunia. Tetapi beliau mempunyai visi dan misi yang sangat bagus
yaitu agar dunia itu mampu berpikir. Karena sebenar-benarnya hidup itu untuk
berpikir. Beliau menganalogikan sebuah mesin, ketika mesin tidak mengeluarkan
bunyi berati mati. Seperti kita ini, ketika kita tidak berpikir berati mati.
Kalau orang emosi atau tawuran itu namanya orang yang tidak berpikir. Bisa
dikatakan seperti mayat-mayat berjalan karena sebenar-benar mereka tidak sedang
berpikir tetapi berkelahi. Jika dalam pandangan spiritual orang-orang seperti
itu berati tidak dalam keadaan berdoa. Jadi di dalam filsafat hidup dan mati
itu sesuai dengan dunianya. Seperti mahasiswa ini, di dalam kampus berati
sedang dihidupkan untuk berpikir dari sisi filsafat. Sedangkan dari sisi spiritual sebenar-benar
hidup adalah berdoa dan beribadah. Karena setinggi-tinggi spiritual adalah
ketika selalu dalam keadaan diridhai oleh Allah SWT. Agar selalu diridhai Allah, sebaiknya selalu
dalam keadaan berdoa.
“Bagaimana cara mengatasi
keraguan?” Apabila muncul keraguan di dalam pikiran, berarti kita sudah mulai
berfilsafat. Karena sebenar-benar filsafat itu adalah keraguan. Tetapi jangan
sekali kali muncul keraguan di dalam hati. Karena sebenar-benar keraguan di
dalam hati adalah godaan syaitan. Untuk menghindari keraguan dalam hati yaitu dengan
memohon pertolongan Allah SWT. Oleh karena itu, kita harus selalu dalam keadaan
berdoa agar hati kita tetep terjaga. Sikap meragukan dalam segala sesuatu itu
disebut skeptis, dengan tokohnya adalah Rene Descartes, allirannya bernama
rasionalism atau skeptisism. Tetapi dari keraguan pikiran kita, seharusnya kita
menjadi orang yang ingin selalu mencari tahu.
“Bagaimana menselaraskan
lisan dan pikiran?” Jadi sebenarnya manusia itu tidak hanya menselarasan lisan
dan pikiran saja. Jia dianalogikan sebagai sumbu, manusia itu berpangkat pangkat milyar sumbu.
Sumbu yang dimaksud yaitu sumbu bicara, sumbu mendengar, sumbu perasaan, sumbu
pikiran, dan masih banyak lagi sumbu yang lain tak terhingga. Maka jika membahas
lisan dan pikiran berati baru menselaraskan dua sumbu. Padahal tindakan,
pendengaran, hati juga harus diselaraskan. Yaitu dengan hermeneutika.
Hermeneutika itu artinya mengalir sesuai
ruang dan waktunya dengan menggunakan sumbu 3 dimensi spiral. Maksudnya maju
berkelanjutan, linear dan siklik. Linear karena kita tidak bisa mengulangi
tanggal ini bulan ini, tahun ini, jam ini. Siklik maksudnya hidup ini berputar
sehingga masih ada hari selasa besok. Jadi kita sebagai manusia harus selalu
bikhtiar, berpikir, dan membaca.
“Perbedaan noumena dan metafisik?” kalau yang bisa kita pahami
dengan panca indera itu fenomena. Padahal memahami dengan fenomena itu terbatas
karena memahami fenomena-fenomena itu tergantung orangnya, tergantung ilmunya.
Itulah yang namanya metafisik. Sesuatu yang diam pun ada metafisiknya. Sedangkan
yang tidak bisa kita pahami dengan panca indera itu namanya noumena contohnya
adalah arwah. Jika dalam filsafat, itu termasuk noumena. Sedangkan dalam spiritual, disebut ghaib.
“Apakah tanda-tanda orang
berfilsafat?” tanda orang berilsafat itu
olah pikir, bertanya, sintetis, dan refleksi. Refleksi adalah menjawab tentang ‘mengapa’.
Bukan hanya sekedar menjawab ‘apa’. Jadi pada dasarnya filsafat itu berpikir
refleksi atau memantul. Filsafat itu pasti menggunakan pikiran tetapi orang berpikir
belum tentu berfilsafat. Bahkan ketika kita tidur pun menggunakan pikiran untuk
mengontrol dibawah sadar contohnya bernafas. Kita bisa bernafas itu dikontrol
oleh pikiran kita. Tetapi tidur itu belum berfilsafat karena berpikir dalam
keadaan tidur menggunkan pikiran dibawah sadar. Padahal awal dari filsafat
adalah kesadaran. Jadi dalam berfilsafat tidur dikatakan mitos.
“Bagaimana hubungan
filsafat dan matematika?” hubungannya adalah dengan filsafat kita dapat
membokar matematika. Karena pada dasarnya filsafat itu meliputi dunia ideal dan
dunia realis. Dunia cita-cita dan dunia kenyataan. Sedangkan matematika murni
itu hanya dunia cita-cita atau dunia ideal saja (dunia orang dewasa). Pada
filsafat, semua harus disesuaikan dengan ruang dan waktunya, harus disesuaikan
dengan dunianya. Misalnya saja anak SD, seharusnya ilmu bagi anak SD itu adalah
kegiatan. Sehingga di sekolah, tidak akan ada ilmu kalau tidak ada kegiatan.
Matematika untuk anak-anak SD seharusnya bersifat realisme. Sedangkan matematika
untuk orang dewasa bersifat abstrak, idealisme dan absolutisme.
Komentar
Posting Komentar